Pati, www.suarahukum-news.com | Diduga dimanfaatkan sebagai ladang bisnis dengan hasil penjualan dari tanah dari lokasi proyek Pengerjaan Embung Desa Klayusiwalan, Kecamatan Batangan, oleh oknum yang tidak bertanggungjawab telah menuai sejumlah kontroversi dimasyarakat. Pasalnya, tanah dari lokasi proyek tersebut terindikasi telah diperjual belikan hingga luar desa dengan harga yang bervariatif. (17/09).
“Debunya bertebaran kemana-mana, terlebih pada saat siang hari, pasti gak nyaman bagi pengguna jalan yang lain, lantaran banyak tanah yang yang berceceran,” ujar salah seorang pengendara sepeda motor saat melintasi jalan Desa Klayusiwalan, Sabtu (14/09).
Selain menimbulkan dampak ketidaknyamanan bagi pengguna jalan yang lain, aktivitas yang menyerupai jual beli tanah galian C tanpa izin dari lokasi proyek tersebut juga di nilai telah menabrak Pasal 98 Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3 miliar dan paling banyak Rp.10 miliar.
Praktik jual beli tanah bekas galian proyek pemerintah sepertinya tak pernah usai. Lemahnya pengawasan dari pejabat fungsional proyek diduga menjadi penyebab praktik meraup keuntungan pribadi itu tetap menjamur. Untuk diketahui, tanah bekas galian proyek pemerintah atau tanah disposal dilarang untuk dijualbelikan.
Pasalnya, untuk mengerjakan proyek serta kebutuhan operasional sudah masuk dalam anggaran RAB Pekerjaan. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk melakukan praktik jual beli tanah bekas galian proyek dengan alasan untuk menambah dana operasional.
Kepala Desa Klayusiwalan saat dikonfirmasi beberapa awak Media dikediamannya pada hari Sabtu (14/09), justru diduga telah menghindar serta enggan untuk memberikan keterangan apapun. Namun, dari pihak keluarga (istri) justru menyampaikan kalau suaminya (Kepala Desa) sedang berada di Polsek Batangan.
Sementara itu, Kapolsek Batangan saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon pesang singkat WhatsApp, pihaknya (Kapolsek Batangan) justru menyemaikan jika Kades Klayusiwalan sedang tidak berada di kantornya saat waktu tersebut (Sabtu, 14/09/
Dalam keterangan sebelumnya, Kepala Desa Klayusiwalan menyampaikan jika tanah dari lokasi pengerjaan embung di desannya tidak akan keluar untuk pembuanganya, apalagi sampai di nperjual belikan kepada pihak lain.
“Terkait pengerukan embung itu mas, semua sudah melalui tahapan musyawarah bersama warga. Sementara untuk pembuangan di luar desa, lantaran di desa saya sudah tidak ada tempat pembuangan lagi, dan kebetulan di situ (luar desa) ada tempat untuk pembuangan,” ungkap Kades melalui pesan singkat WhatsApp, Minggu (15/09).
Didalam Pasal 100 ayat (3) PP Nomor 47 Tahun 2015 mengatur mengenai pengelolaan tanah bengkok. Sementara Pasal 15 ayat (1) Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 menyatakan bahwa tanah desa (bengkok) tidak boleh dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, dugaan praktik jual beli tanah galian dari lokasi proyek pengerjaan embung Desa Klayusiwalan patut dipertanyakan, terlebih proyek tersebut berada di atas tanah bengkok desa, yang secara pengelolaan nya telah di atur oleh beberapa regulasi didalamnya.
(Red/Rn)