Pati, www.suarahukum-news.com | Penjabat Bupati Pati Henggar Budi Anggoro, Rabu (22/5), menghadiri Rakor Gugus Tugas Reforma Agraria di Hotel New Merdeka. Acara ini juga dihadiri Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pati, Forkopimda dan tamu undangan lainnya. (22/05)
Beberapa hal menjadi fokus pembahasan dalam Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Pati ini, diantaranya terkait berhektare-hektare lahan di kawasan tanah timbul serta kawasan hutan yang tersebar di tiga desa di Kabupaten Pati yang dikaji sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Ketiga desa tersebut, menurut Henggar ialah Desa Sumbermulyo, Kecamatan Tlogowungu, di mana terdapat ratusan bidang tanah kawasan hutan dalam penguasaan masyarakat.
Kemudian Desa Dororejo Kecamatan Tayu dan Desa Bakalan Kecamatan Dukuhseti yang di dalamnya terdapat kawasan tanah timbul yang dikuasai dan dikelola masyarakat.
Reforma agraria sendiri merupakan program strategis nasional yang bertujuan menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara lebih berkeadilan.
Tujuan tersebut dicapai melalui penataan aset yang disertai penataan akses untuk kemakmuran rakyat.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pati, Jaka Pramono, mengatakan bahwa fokus GTRA Kabupaten Pati memang di tiga desa tersebut.
“Pertama di kawasan hutan di Dukuh Jatiurip, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Tlogowungu. Di sana ada kurang lebih 540-an bidang dikuasai oleh masyarakat yang sejak sebelum kemerdekaan sudah bermukim di situ,” kata dia.
Karena statusnya masuk kawasan hutan, kata Jaka, lahan yang dikuasai masyarakat tersebut belum bisa dilegalisasi asetnya lewat sertifikat tanah.
“Begitu juga tanah-tanah timbul di Desa Bakalan dan Dororejo. Berawal dari terjadinya endapan di situ, kemudian ada penguasaan, masyarakat pun mengelolanya. Tetapi karena statusnya, Letter C juga belum ada pada waktu itu, maka butuh penegasan. Hadirlah negara untuk memberi penegasan itu,” paparnya.
Untuk diketahui, tanah timbul merupakan daratan yang terbentuk secara alami maupun buatan karena proses pengendapan di sungai, danau, pantai, atau pulau timbul.
Tanah timbul dikuasai oleh negara. Namun tanah timbul dengan luasan paling luas 100 meter persegi merupakan milik dari pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah timbul dimaksud.
Adapun terhadap tanah timbul dengan luas lebih dari 100 meter persegi dapat diberikan hak atas tanah asalkan mendapat rekomendasi Kementerian ATR/BPN dan pemanfaatannya sesuai rencana tata ruang.
Menurut Jaka, luasan tanah timbul yang dikuasai masyarakat di Desa Dororejo mencapai 46 hektare dan di Desa Bakalan 26 hektare.
“Melihat sejarahnya, sejak tahun 70-an sudah ada penguasaan,” jelasnya.
Reforma Agraria hadir dalam konteks penataan aset ketika banyak terjadi penguasaan tanah oleh masyarakat tetapi kepastian hak kepemilikannya belum terwujud.
“Bisa atau tidaknya, itu nanti prosesnya (dibahas) dalam diskusi kami supaya itu bisa diberikan pada masyarakat. Karena pengelolaan tanah timbul memang diatur tersendiri,” ujarnya.
Jaka menegaskan, pemberian hak atas tanah timbul memang membutuhkan mekanisme tersendiri.
Sebab, cara perolehannya tidak dengan kegiatan perdata seperti jual-beli, hibah, maupun tukar menukar.
“Dasarnya hanya dia menguasai dan mengelola sudah cukup lama.
Maka di situlah negara hadir untuk memberikan kepastian hak,” ucap Jaka.
Menurutnya, reforma agraria di tanah kawasan hutan prosesnya lebih panjang karena melibatkan pemangku kebijakan yang lebih luas.
“Tentu harus dilepaskan dari kawasan hutan baru boleh kami berikan legalisasi aset. Ini menyangkut kementerian lain juga yang jadi pengelola (KLHK-red.),” jelas Jaka.
Karena itulah, dalam kegiatan ini pihaknya menghadirkan narasumber-narasumber kompeten untuk memberi pemahaman kepada GTRA Pati tentang bagaimana agar tanah timbul dan kawasan hutan bisa dimiliki dan dikuasai masyarakat secara legal dengan ketentuan yang ada.
Adapun narasumber yang dihadirkan ialah Direktur Penatagunaan Tanah Kementerian ATR/BPN Wartomo serta Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XI Jawa Tengah.
Sementara itu, Penjabat (Pj) Bupati Pati Henggar Budi Anggoro mengatakan, rapat koordinasi GTRA dilakukan untuk penajaman tujuan reforma agraria.
“Intinya bagaimana reformasi agraria mampu memetakan lagi dan menyelesaikan permasalahan yang sampai saat ini terjadi. Di Pati yang sudah terpetakan ada tiga tempat, yaitu Desa Sumbermulyo yang ada tanah kawasan hutan yang dikuasai masyarakat di sana. Berikutnya tanah timbul di Dororejo dan Bakalan,” ujarnya.
Henggar berharap objek reforma agraria di tiga desa ini mampu dipetakan dengan baik oleh GTRA.
“Sehingga terselesaikan dengan baik dan jangan sampai justru muncul permasalahan baru,” tandasnya.
(Red/Sh)