Surabaya, www.suarahukum-news.com-Ketua FKPRM (Forum Komunikasi Pemimpin Redaksi Media) di Jatim dan Insiator FKPRM di Indonesia, Drs. Agung Santoso mengatakan, bahwa Birokrasi harus memahami tentang Kemerdekaan Pers, sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. (05/06).
Hal itu seperti yang dialami olehnya (Agung Santoso) sendiri, sebagaimana sesuai isi artikel yang ia kirimkan ke Redaksi Media Siber Suarahukum-News (Sabtu, 05/06). Dalam artikel tersebut pihaknya menirukan beberapa percakapan di lapangan (tempat umum), pada saat tanpa sengaja pihaknya melihat sebuah kegiatan/peristiwa, sehingga spontanitas jiwa jurnalistiknya muncul dan menghentikan laju kendaraannya untuk mengambil beberapa gambar (dokumentasi) sebagai bahan materi untuk pemberitan, yang merupakan bagian dari tugas dan fungsi seorang Wartawan.
“Maaf pak. Bapak dari mana?”, ucap Agung saat menirukan perkataan dari salah seorang oknum petugas Satpol PP sembari menutup kamera handphone miliknya, sehingga menjadi kacau pada saat pengambilan gambar, ujar Agung, Sabtu (06/06) dalam artikelnya.
“Kejadian itu saya alami, ketika di tepi jalan ada penjual pepaya, yang memperdagangkan buah dagangannya. Kemudian di datangi dari Birokrasi yang bertugas di lapangan, untuk penertiban (Satpol PP),” imbuh Agung.
Siang itu, Lanjut Agung, Kendaraan saya parkir, selanjutnya kamera saya hidupkan, saya tidak perlu izin, karena ruang publik, kemerdekaan pers saya coba buktikan apakah saudara-saudara saya yang bertugas di lapangan bisa memahami atau tidak.
“Semua Satpol PP, ketika saya ambil gambar untuk di rekam mulai merapat, saya tenang saja. Celotehan macam-macam muncul. Akhirnya ada salah seorang petugas (oknum) Satpol PP, sebut saja Amir (bukan nama sesungguhnya) langsung menutup layar kamera (handphone) dan saya berhenti ambil gambar”, kata Agung.
Lalu, Masih kata Agug, Saya jawab, kalau saya dari media dengan status jelas, sekali-kali saya sampaikan tentang embel-embeli sebagai ini dan itu, untuk memberikan beberapa pamahan tentang tugas dan fungsi seorang wartawan di lapangan.
“Saya di atas angin, ketika saya mulai lantang bicara di jalan raya yang banyak di lihat orang. Maklum, saya sendiri meladeni lebih dari 15 orang Satpol PP saat itu,” ujarnya.
Selanjutnya, siang itu saya bilang,”Kemerdekaan Pers itu memang di batasi oleh aturan sebuah lembaga, kalau saya ini masuk ke lembaga apapun, saya harus ikuti aturan, atau di kenal dengan Standar Operasional Prosedur (SOP),” cetusnya.
Saya terus memberikan edukasi kepada mereka, Bahwa ini adalah ruang publik, bila ada kejadian apapun, misalnya kecelakaan hak seorang wartawan untuk memberitakan, tidak perlu menunggu izin keluarga dari korban atau pelaku karena untuk kepentingan Informasi publik, sebab akan berdampak tentang lalu lintas dan sebagainya.
“Dan masih banyak kejadian lain yang harus di naikkan jadi berita, contoh banjir, kebakaran, pembunuhan,” sebut Agung saat berargumentasi dengan beberapa petugas (Satpol PP) siang itu.
Lebih lanjut Agung juga mengatakan, Saya masih bersuara kepada mereka, meski ada seorang anggota Satpol PP meredam, “Coba anda banyak belajar tentang UU Pers, supaya tahu yang di maksud Kemerdekaan Pers”.
“Jurnalis itu juga paham tentang kemerdekaan pers, bukan dengan lantang bahwa saya di lindungi UU Pers Pasal 18, sehingga kita bisa berbuat seenaknya masuk ke lembaga apapun tanpa etika, tentu akan jadi masalah,” ujar Agung kepada seseorang (oknum) tersebut.
Perlunya sinergi dari birokrasi atau lembaga yang lain bila bersentuhan dengan wartawan, tidak perlu takut, saling memahami dan tahu tentang tugas jurnalis dalam memberikan informasi publik, yang telah di lindungi oleh UU Nomor 40 tentang Pers.
“Jadi, wartawan bisa membuat karya jurnalistik dengan catatan, tidak melanggar kode etik jurnalistik yang ada 11 pasal (Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia),” tandasnya.
(Red/Ag, Tg)